
Seni seakan sudah menyatu dengan kehidupan manusia, baik sebagai penikmat seni atau lebih-lebih bagi pelaku/insan seni itu sendiri. Namun Tak jarang terjadi justru aktivitas seni melanggar norma-norma kehidupan, seperti norma kesusilaan dan norma agama. Misalnya, seni yang memuat pornografi dan pornoaksi yang bisa menimbulkan stimulasi kemaksiatan di masyarakat seperti pelecehan seksual, perkosaan, dll.
Dengan alasan seni juga kadang masyarakat terkesan mentolerir seni yang memuat pornografi dan pornoaksi tersebut. Hal ini terjadi karena pengaruh sistem kehidupan sekularisme-liberalisme yang diterapkan saat ini yang justru merusak moral generasi bangsa ini dan juga merusak tatanan kehidupan bermasyarakat. Sehingga penting bagi kita mengetahui pandangn Islam tentang seni.
Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera penglihat (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).
1. Seni Musik
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya (Dr. Abdurrahman al-Baghdadi, Seni Dalam Pandangan Islam, hal. 13-14).
Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu:
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina’).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian.
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Hukum Melantunkan Nyanyian (al-Ghina’ / at-Taghanni)
Mengenai hukum nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya
Hukum Mendengarkan Musik
Sekedar mendengarkan nyanyian/musik adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)/Konser
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat (campur baur laki-laki dan perempuan), atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah
b. Mendengarkan Musik Di Radio, TV, Dan Semisalnya
Hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut. Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yâ’) —dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya— yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan:
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan:
Hukum Memainkan Alat Musik
Memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.
2. Seni Tari.
Seni tari dilakukan dengan menggerakkan tubuh secara berirama dan diiringi dengan musik. Gerakannya bisa dinikmati sendiri, merupakan ekspresi gagasan, emosi atau kisah.Tarian digolongkan menjadi dua, yaitu tarian tradisional dan tarian modern. Tarian tradisional seringkali mendapat sentuhan penata tari yang kemudian menjadi tarian kreasi baru. Kita lantas mengenal adanya seni tari modern yang umumnya digali dari tarian traditional. Tarian ini lebih mengutamakan keindahan, irama gerak dan memfokuskan pada hiburan.
Telah cukup banyak jenis tarian yang ada di tengah masyarakat saat ini. Ada tarian dari masyarakat primitif yang berbentuk tarian upacara ritual. Tarian ini tetap dilestarikan keberadaannya. Ada tarian modern (daerah) yang ditarikan oleh masyarakat setempat pada berbagai upacara perayaan atau ketika menyambut dari pejabat atau tamu luar negeri. Biasanya tari-tarian ini tidak terlepas dari iringan musik dan nyanyian khas serta ciptaan daerah tertentu.
Seni tari sekarang (modern)berbeda halnya dengan tarian abad-abad sebelumnya. Orang mengenal ada tari balet, tapdans, ketoprak atau sendratari Gaya tarian abad XX berkembang dengan irama-irama musik pop singkopik, misalnya dansa cha-cha-cha, togo, soul, twist, dan terakhir adalah disko dan breakdance. Kedua tarian ini gerakannya menggila dan digandrungi generasi muda. Semua tarian ini sudah lazim dilakukan oleh pasangan penari lelaki dan wanita. Lalu, bagaimana status hukum syara‘ terhadap tari-tarian yang telah disebutkan di atas? Di bawah ini akan di rinci pandangan syara‘ terhadap tarian sebagai berikut:
1. Syara‘ melarang kaum Muslimīn menyerupai orang kafir dalam hal-hal yang menyangkut urusan agama. Dalam hal ini termasuk semua jenis tarian upacara keagamaan dan primitif.
2. Setiap tarian yang berpasangan lelaki wanita (khalwat) atau yang bercampur-baur laki-laki dan wanita (ikhtilat) dan diiringi dengan instrumen musik, maka harām hukumnya. Ternasuk dalam hal ini adalah menari bersama dengan lelaki-perempuan dan mengikuti irama musik pop Barat, dangdut, disko, dan lain-lain. Menurut ketentuan syara', setiap sesuatu yang menghantarkan kepada perbuatan harām maka ia harām pula, sebagaimana kaidah syara‘ yang berbunyi:
"Sesuatu yang menghantarkan kepada yang harām maka ia harām pula (dikerjakan)."
Tari-tarian masa sekarang sering dilakukan bersama-sama lelaki-wanita. Bahkan acara tersebut tidak terlepas dari perbuatan-perbuatan harām lainnya. Misalnya, berpegangan tangan, berangkulan, badan berdempetan, saling menggeserkan bagian-bagian tubuh tertentu, berrangkulan dan berpelukan, dan perbuatan yang lebih jauh dari itu. Ada dalīl lain yang mengharāmkan semua jenis tarian dari semua bangsa-bangsa, yaitu (Lihat ‘Abd-ur-Ra’ūf Al-Manāwī, FAIDH-UL-QĀDIR, Hadīts No. 8593):
"Siapa saja yang menyerupai suatu kaum (dalam pola hidup dan adat istiadat), maka ia (telah) tergolong ke dalam golongan mereka." (HR. ABŪ DĀWŪD, THABRANĪ, dari Ibnu ‘Umar, dan Hudzaifah bin Al-Yaman).
Kata "menyerupai" di dalam Hadīts tersebut adalah bentuk seruan umum yang sama halnya dengan kata "suatu kaum". Inilah adalah larangan menyerupai bangsa manapun dengan apa saja secara mutlak, baik dalam urusan ‘aqīdah, ‘ibādah, nikāh, adat kebiasaan, hidup bebas, dan sebagainya. Termasuk di sini hal-hal yang menyangkut masalah tari-tarian.
3. Seorang wanita atau lelaki boleh bernyanyi dan menari di rumahnya sendiri untuk anggota keluarga atau kerabat yang muhrim. Seorang istri boleh bernyanyi dan menari untuk suami atau sebaliknya, wanita juga boleh menari di kalangan kaum wanita, khususnya pada hari gembira, misalnya pesta pernikahan, lahirnya seorang bayi, hari raya, dan sebagainya.
4. Bertolak dari umumnya nash-nash yang membolehkan menggerakan kaki, seperti :
"Hentakkanlah kakimu...." (QS.38:42).
Dan Hadīts-Hadīts yang membolehkan seorang lelaki berjinjit, memainkan tombak dan perisai dan senjata tajam lainnya sambil menarikannya, maka, hukum asal menari adalah Amubāh selama tidak melampaui batas-batas syara‘ yang telah disebutkan pada butir-butir sebelumnya. Walaupun demikian, tidak boleh kaum lelaki muhrim atau suami menari dengan tarian yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita, misalnya tari perut dan sejenisnya. Sebaliknya, kaum wanita tidak boleh menarikan tarian lelaki, sebab Rasūlullāh s.a.w. melarang kaum lelaki menyerupai wanita atau sebaliknya:
(لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِالرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ وَ لاَ مَنْ تَشَبَّهَ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ)
"Tidak termasuk golonganku wanita yang menyerupai lelaki, dan lelaki yang menyerupai wanita." (HR. IMĀM AHMAD, dari Ibnu ‘Amru bin Al-‘Āsh).0
2. Seni lukis, seni pahat,
Seni lukis/lukisan adalah gambar makhluk bernyawa, yang dilukis di atas dinding, kanvas, kertas ataupun di atas kain tenun, baik yang dilukis dengan pensil, pena ataupun alat tulis lainnya, baik lukisan dengan obyek nyata atau lukisan yang mengandalkan imajinasi, besar maupun kecil.
Seni pahat adalah gambar obyek yang dipahat dibuat dari batu atau kayu yang mengandalkan imajinasi, baik gambar yang dipahat berupa patung manusia maupun bentuk makhluk yang bernyawa lainnya.
1. Seni lukis dan seni pahat terhadap makhluk bernyawa hukumnya haram dan keharamannya adalah bersifat mutlak. Lingkup keharaman dalam masalah gambar atau lukisan adalah lukisan atau gambar makhluk bernyawa, baik gambar yang dipahat berupa patung maupun gambar yang dilukis di atas dinding, kanvas, kertas ataupun di atas kain tenun, baik yang dilukis dengan pensil, pena ataupun alat tulis lainnya, baik lukisan dengan obyek nyata atau lukisan yang mengandalkan imajinasi, besar maupun kecil.
Adapun gambar atau photo yang menggunakan kamera seperti photo seseorang untuk surat izin perjalanan, kartu tanda pengenal, paspor, kartu tanda pengenal dan sebagainya maka hukumnya mubah
2. Membuat/memahat patung untuk berbagai macam tujuan adalah haram, baik untuk dijadikan sebagai monumen peringatan bagi seorang raja, panglima perang, pemimpim sautu kaum, tokoh-tokoh pembaharuan, atau tokoh-tokoh yang menjadi simbol kecerdasan dan kegagahan ataupun untuk tujuan lainnya, karena keumuman hadits shahih yang menjelaskan tentang pelarangan hal-hal demikian.
Berikut Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Gambar Makhluk Bernyawa
Al – Imam Al – Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Bahwasanya Rasulullah saw. ketika melihat gambar – gambar makhluk bernyawa di dalam Ka’bah (maka) beliau tidak mau masuk kecuali setelah beliau memerintahkan untuk menghapusnya, dan beliau melihat gambar Ibrahim dan Isma’il as. dan pada tangan – tangan keduanya membawa anak – anak panah, maka beliau bersabda, “Semoga Allah memerangi mereka! Demi Allah, mereka berdua tidak pernah mengundi nasib dengan anak – anak panah sama sekali.”
Al – Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Zubari, Bahwasanya dia telah mendengar Jabir bin ‘Abdillah mengatakan bahwa Nabi saw. melarang dari gambar – gambar makhluk bernyawa di Ka’bah dan Nabi melarang seorang laki – laki menggambar makhluk bernyawa, dan bahwasanya beliau memerintahkan ‘Umar bin Khattab pada masa Fathul Makkah yang pada waktu itu ‘Umar sedang berada di Bath-ha’ untuk datang ke Ka’bah dan menghapus seluruh gambar makhluk bernyawa yang ada pada (dinding) Ka’bah. Dan beliau tidak masuk ke dalamnya (baitullah) sampai seluruh gambar yang ada di dalamnya dihapus.
Al – Imam Muslim meriwayatkan dari Sa’id bin Abi Hasan, Seorang laki – laki datang kepada Ibnu Abbas, dia mengatakan, “Sesungguhnya akulah yang menggambar gambar – gambar ini. Maka, berfatwalah kepadaku tentang hal ini.” Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Mendekatlah kepadaku!” Maka, laki – laki itu mendekatinya, kemudian Ibnu Abbas berkata lagi “Mendekatlah kepadaku!” Maka, laki – laki itu mendekatinya sampai Ibnu Abbas meletakkan tangannya di atas kepala orang tersebut. Kemudian Ibnu Abbas mengatakan, “Aku akan kabarkan kepadamu apa – apa yang telah kudengar dari Rasulullah saw., aku mendengar beliau saw. mengatakan, “Setiap tukang gambar (makhluk bernyawa) di neraka, akan dijadikan untuknya pada setiap gambar – gambar itu akan mengazab dia di Neraka Jahannam.” Kemudian Ibnu Abbas mengatakan kepadanya, “Jika kamu terpaksa harus melakukannya (menggambar), maka gambarlah pohon saja, atau apa saja yang tidak mempunyai nyawa.”
Al – Imam Al – Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Umar, Rasulullah saw. telah bersabda, “Sesungguhnya orang – orang yang membuat gambar – gambar ini, akan diadzab di hari kiamat, akan dikatakan kepada meraka, ‘Hidupkanlah gambar – gambar yang telah kalian buat itu’.”
3. Adapun gambar pemandangan misalnya pohon-pohonan, gunung, lautan dan lain-lain
hukumnya mubah baik si pelukis maupun yang menyimpannya selama gambar tersebut tidak sampai pada pemborosan.
Pada pada faktanya, cukup banyak umat ini yang berkecimpung di bidang seni itu tidak lain hanya untuk mengekspresikan seni keindahan, menyalurkan hobi, mengaktuliasasikan diri dan daya kreasi yang mereka miliki yang kemudian bermuara kepada keinginan mereka untuk menjadikan karya seni sebagai mata pencaharian dan lapangan pekerjaan.
Bagi setiap muslim semua perbuatan/pekerjaan kita terikat dengan aturan Islam, sehingga selayaknya kita tidak melakukan perbuatan/pekerjaan seperti aktivitas/pekerjaan seni yang melanggar hokum syara/aturan Islam. Lebih-lebih jika aktivitas seni yang melanggar hukum Syara/yang diharamkan tadi dijadikan mata pencaharian dan lapangan pekerjaan maka akan menghasilkan pendapatan/rezeki dari yang tidak halal.Disamping itu aktivitas seni yang melanggar aturan Islam akan berpeluang merusak moral generasi dan bangsa ini.Oleh karena itu dalam Sistem Islam (khilafah) aktivitas seni yang bertentangan dengan Islam akan di larang dan bagi yang masih melakukan akan diberikan sanksi. Sedangkan bagi yang menjadikan seni yang terlarang tadi sebagai mata pencaharian dan lapangan pekerjaan maka Khilafah akan menyiapkan lapangan pekerjaan lain yang halal.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi dalam upaya melepaskan diri dari sistem sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita rindukan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan khilafah Islamiyah.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
(Penulis: Faridah Afifah, SPd; Guru di SMP di Batola dan Aktivis Muslimah HTI)